MCAS: Biang Kerok Jatuhnya Boeing

MCAS: Biang Kerok Jatuhnya Boeing

Teknologi 292

Hari itu, 29 Oktober 2018, jam menunjukkan pukul 06.20. Setelah mengecek seluruh persiapan keberangkatan, Kapten Bhavye Suneja meminta izin kepada Air Traffic Control (ATC) Bandara Internasional Soekarno Hatta untuk lepas landas. 

ATC memberikan sinyal positif, lalu pilot Lion Air dengan nomor penerbangan JT-610 tujuan Pangkal Pinang itu mendorong tuas. Membawa 181 penumpang dan 8 awak kabin, pesawat dijadwalkan tiba di tujuan pukul 07.20.

Pukul 06.33 atau 13 menit setelah lepas landas, pesawat tiba-tiba hilang kontak. Basarnas segera diterjunkan untuk melakukan pencarian di titik terakhir yang diketahui. Basarnas, diperkuat kesaksian warga lokal, mengabarkan informasi pilu: Lion Air JT-610 jatuh ke laut dan tidak ditemukan satu pun penumpang selamat. 

Lima bulan berselang, Ethiopian Airlines dengan nomor penerbangan 302 mengalami nasib serupa yang menewaskan 157 penumpang. Dua tragedi yang terjadi dalam jarak berdekatan ini memiliki satu kesamaan, yakni terjadi pada seri Boeing 737 Max 8.

Tanda tanya besar timbul di benak banyak orang. Apa penyebabnya?

Malapetaka dari Dalam Kokpit

Sebagai generasi keempat, Boeing 737 Max 8 dirancang untuk menandingi kompetitornya, Airbus A320neo. Berbeda dengan Boeing 737 biasa, seri ini memiliki mesin dan kapasitas yang lebih besar, pemakaian bahan bakar yang lebih irit, dan jejak karbon yang lebih sedikit.x

Bukan cuma perubahan dari segi hardware, Boeing 737 Max 8 juga mengalami modifikasi dalam software-nya, salah satunya ialah instalasi Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS).

Agar pilot dapat memahami perubahan ini dengan cepat dan menghemat biaya, Boeing memberikan pilot pelatihan kilat lewat komputer, tak harus mengikuti kelas atau menjalankan simulator. 

Laura Einsetlerm, seorang pilot dengan pengalaman terbang lebih dari 30 tahun, memberikan kesaksian bahwa ia tidak diberikan instruktur maupun panduan yang memadai tentang sistem baru ini. Seorang pilot mau tak mau hanya bisa berharap pada cuaca cerah dan baik, lanjutnya.

Sadar akan malapetaka di depan mata, para pilot sempat menyampaikan protes. Namun, respons yang diberikan pihak Boeing tak memuaskan mereka. Boeing seolah-olah membiarkan pilot mencari jawabannya sendiri.

Hingga malapetaka itu benar-benar terjadi.

Investigasi gabungan yang dilakukan otoritas Indonesia, Ethiopia, dan AS menemukan kesamaan: Lion Air JT-610 dan Ethiopian Airlines 320 menukik secara tiba-tiba.

Rekaman black box Lion Air JT-610 memperlihatkan data kecepatan dan ketinggian Lion Air JT-610 yang naik-turun secara drastis dalam waktu sangat berdekatan, menandakan hilangnya kendali pilot atas pesawat. Setelah dilakukan investigasi mendalam, terungkap bahwa biang kerok dari kedua tragedi ini adalah software MCAS.

MCAS sebenarnya dibuat untuk melindungi pesawat dari manuver berbahaya, seperti tingginya posisi hidung pesawat yang dapat menyebabkan stall atau kondisi hilangnya daya angkat pesawat. Apabila sensor mendeteksi adanya manuver berbahaya ini, maka MCAS secara otomatis mendorong hidung pesawat ke bawah tanpa memberi kesempatan pilot melakukan intervensi.

Ironisnya, dalam kedua tragedi ini, sensor MCAS memberikan informasi keliru. Ketika MCAS mengarahkan hidung pesawat ke bawah, pilot sekuat tenaga mengarahkannya kembali ke posisi semula.

Gerak yang tidak terkendali ini mengakibatkan sistem kokpit mengalami error yang fatal. Dengan hidung pesawat yang masih mengarah ke bawah, pesawat menukik dengan kecepatan tinggi sebelum mengalami crash.

Ngeri banget, ya...

Bagaimana Kelanjutannya?

Setelah tragedi tragis yang menewaskan total 346 orang itu, keluarga korban mengajukan gugatan terhadap Boeing. Setelah melalui proses persidangan yang berlarut-larut, Departemen Kehakiman AS pada 2021 memutus Boeing bersalah.

Putusan ini didasari atas temuan sebelumnya bahwa Boeing terbukti mempengaruhi dan melakukan penipuan terhadap Federal Aviation Administration (FAA) dalam proses sertifikasi dan quality control Boeing 737 Max 8.

Atas putusan ini, Departemen Kehakiman mewajibkan Boeing membayar kompensasi sebesar 500 juta dolar AS kepada keluarga korban.

Namun demikian, sampai hari ini ternyata belum semua keluarga korban mendapatkan kompensasi tersebut. Salah seorang pengacara keluarga korban mengatakan bahwa tuntutan akan terus dilakukan hingga hak-hak kliennya terpenuhi.

Tragedi ini menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa secanggih apapun teknologi, manusia sebagai pengguna teknologi harus tetap waspada dan tidak boleh mengabaikan keselamatan.

Semoga tragedi ini nggak bikin Ladies jadi takut naik pesawat, ya.

Tapi tenang aja, Ladies bisa temukan tips-tips mengatasi rasa takut di Newfemme!